CERPEN PENGALAMAN PRIBADI

CERPEN BERTOLAK DARI PENGALAMAN

SK PERTAMA

OLEH ROHMAD

Inikah Okbibab? Tercengang aku setelah mendarat di bandara Abmisibil, sebuah nama kampung di Kecamatan Okbibab di wilayah Pegunungan Bintang. Kemudian hari, setelah pemekaran kabupaten, nama Pegunungan Bintang menjadi  nama Kabupaten Pegunungan Bintang.

Landasan tanah berkerikil di balik bukit akhirnya kuinjak juga. Panjang landasan pesawat ini kira-kira hanya lima ratus meter. Aku mendarat di tempat ini menggunakan pesawat CESSNA milik AMA alias Association Mission Aviation, misi penerbangan Katolik. AMA adalah sebuah organisasi besar berpusat di Amerika yang bergerak di bidang penyebaran agama Katolik. Misi ini sudah ada sejak tahun 1950-an.

Aku tiba di tempat ini setelah berbulan—bulan mencari letak nama Okbibab atau Abmisibil di peta. Semua peta sudah kubaca, tentunya peta yang berhubungan dengan Provinsi Irian Jaya. Tidak ada satupun peta yang menunjukkan letak nama itu. Bahkan Peta Kabupaten Jayawijayapun tidak memberikan gambaran yang jelas, tepatnya tidak menunjukkan tempat yang tepat mengenai Okbibab.

Sudah kutanyakan kepada orang-orang di Dinas P dan K Provinsi. Mereka tidak ada yang tahu. Jalan terakhir, menurutku adalah bertanya di dinas P dan K Kabupaten.

“Wah, aku harus ke Wamena?” keluhku dalam hati.

Tidak apa-apa. Demi tugas. Harapanku sudah mulai muncul. Namanya kecamatan, pastilah dekat kabupaten. Minimal, jalan ke sana bisa ditempuh melalui jalur dari kabupaten. Lebih minimal lagi, seandainya tidak bisa, pastilah banyak orang yang bisa ditanya, di manakah makhluk aneh bernama Okbibab itu bersemayam.

Akhirnya, setelah terbang satu jam menggunakan Merpati, tibalah aku di bandara Wamena. Inilah kali pertama aku mengenal dan melihat Wamena dari Wamena, bukan dari peta, apalagi hanya dari cerita. Padahal aku sudah dua puluh enam tahun di Irian Jaya.

Kuedarkan pandanganku berputar.

“Kok mirip baskom? Bagaimana ini? Jadi, yang disebut Wamena ternyata hanya sebuah dataran rendah sempit yang dikelilingi gunung yang membuat bingung.”

“Begini inikah jantung pulau besar Irian Jaya?” kembali perasaanku berkecamuk.

Aku ingat kata—kata orang. Kalau ke Irian jaya, tetapi tidak pernah sampai ke Wamena, jangan mengaku-ngaku sampai di Irian Jaya. Kalau sudah di Wamena, tetapi tidak pernah sampai dan melihat mumi, jangan mengaku-ngaku sampai di Wamena.

Begitulah satu pernyataan yang membuat jantung tersinggung. Tentu saja tersinggung, walaupun tidak menimbulkan bencana sosial plus bencana alam. Orang sudah berkarat di Irian Jaya, hanya gara-gara tidak sampai di Wamena, masih dikatakan belum sampai di Irian. Itu karena Wamena adalah ikon pulau besar Irian Jaya, jantungnya Irian Jaya.

***

Setelah tidur semalam, pagi-pagi sekali setelah salat subuh dan mulai agak terang, kucoba keluar rumah. Cuaca sepagi itu dingin sekali. Kabut masih tebal menyelimuti pegunungan, turun ke lembah baliem, lembah tempat kota Wamena berada. Badanku menggigil, gemetar, tulang—tulang persendian gemeretuk, terlebih pelipisku. Pening sekali karena kedinginan.

Kira-kira pukul tujuh, aku berangkat ke kantor dinas P dan K Kabupaten Jayawijaya. Aku naik becak yang biasa beroperasi di sana. Di Wamena hanya becak yang boleh beroperasi di kota. Angkutan umum seperti starwagon harus beroperasi ke arah pedalaman.

Sopir becak di sini gila—gilaan. Lebih gila daripada sopir metromini di Jakarta. Bayangkan saja, di tiap perempatan jalan yang tentunya sudah dihapal, tidak pernah ngeremSaking gilanya, sewaktu belok di perempatan pun tidak mau mengerem. Maka, tidak  jarang terjadi kecelakaan, tabrakan, masuk parit, masuk halaman rumah, atau masuk apa yang pasti sial. Untungnya tabrakannya gaya becak. Paling keras tabrakan becak dengan motor roda dua yang larinya tidak lebih kencang daripada kuda sehingga masih tergolong nikmat.

“Om tahu nama Kecamatan Okbibabkah?” tanyaku kepada sopir becak.

“Tidak tahu,” jawabnya.

“Om orang Wamena, to?”

“Iya, tapi nama itu tidak pernah saya dengar.”

“O….”

“Baru, Om ini mau ke manakah?” Orang itu bertanya balik.

“Mau ke dinas P dan K. Jauhkah?”

“Dekat saja. Kira-kira lima belas menit naik becak.”

“Ok. Antarkan saya.”

Ya, kira—kira lima belas menit kemudian sampai di tujuan menggunakan kendaraan becak Wamena yang kecepatannya melebihi mikrolet di kota. Tidak ada kemacetan dan tidak mengerem walaupun di perempatan jalan. Jalan-jalan di kota Wamena lurus-lurus seperti daerah transmigrasi. Perempatannya juga banyak. Hampir tidak ada jalan menikung.

“Selamat pagi, Pak.” Sapaku dengan rasa penuh hormat.

Sebagai orang baru di wilayah kerja itu, aku segera menyampaikan keperluanku. Pertama, aku melapor bahwa aku adalah guru baru. Kedua, aku menanyakan di mana dan dengan cara apa aku sampai ke sekolah yang kutuju.

Beberapa orang kutanyai seluk beluk wilayah itu.

“Waduh, saya tidak tahu, Pak,” jawabnya.

“Sudah berapa lama Bapak bekerja di sini?” tanyaku.

“Sejak awal memang kerja di sini. Tapi belum pernah tahu di mana sekolah itu.”

“Kalau Bapak yang sudah lama di sini tidak tahu, apalagi saya. Kenapa SK saya ditempatkan di sekolah itu. Memangnya sekolah itu ada atau tidak?” tanyaku agak jengkel.

Akhirnya kutanyakan kepada siapa harus melaporkan kedatanganku.

“Di bagian kepegawaian. Di sana. Itu ada kepala bagiannya.” Tunjuk salah seorang.

Di bagian inilah aku mendapatkan sedikit keterangan dan petunjuk mengenai apa-apa yang harus kuselesaikan sebelum berangkat.

“Saya sendiri belum pernah ke sana. Tidak ada penerbangan ke sana. Kalau ke sana melalui bandara Sentani.” Kata kepala bagian.

“Sebelum berangkat sebaiknya diselesaikan dulu urusan di sini supaya nanti tidak bolak balik. Kebetulan, camatnya sedang ada di sini. Nanti minta tanda tangan pernyataan melaksanakan tugas dari pak camat. Rumahnya di seberang sana. Ikuti jalan pinggir kota. Rumahnya di pinggir kota.” Katanya lagi sambil menunjuk rute ke rumah camat Okbibab.

***

Kuselesaikan urusanku di Wamena. Tidak perlu berlama-lama, aku segera kembali ke Jayapura menggunakan pesawat Trigana. Pesawat itu sering disewa Pertamina menggantikan Airfast yang selesai kontraknya. Karena waktu itu baru mengantar BBM ke Wamena, maka tidak banyak kursi penumpang di dalam pesawat itu. Yang banyak adalah drum kosong. Wah, penggantinya BBM nih, bisa glundungan, guling kanan guling kiri seperti drum kosong itu.

Yang penting bukan otakku yang kosong, kataku dalam hati. Ya, tentu saja dalam hati karena aku tidak mengenal penumpang lainnya, juga karena sudah jengkel karena ternyata orang-orang di Wamena tidak lebih tahu daripadaku tentang Okbibab. Sama—sama kosong.

Setelah mendarat di bandara Sentani kucari informasi mengenai pesawat yang ke Okbibab. Ditunjukkan oleh salah seorang petugas di bandara dan aku segera ke sana. Kulihat hanggar. Lho, itu kan pesawat mainan. Modelnya mirip pesawat model pesawat pertama yang hanya dapat  kulihat digambar. Setelah menyelesaikan administrasi; bocking waktu dan mendapat jatah tempat, aku segera pulang.

***

Inilah malam terakhirku di wilayah Jayapura. Bukan terakhir untuk selamanya, melainkan untuk satu periode kehidupan. Ada kehidupan baru menanti. Kehidupan yang akan menentukan jalan hidup dan masa depan.

Malam ini benar-benar aku tak dapat tidur nyenyak. Kukenang masa-masa perjuangan mendapatkan SK itu. Masa setelah kuliah dua tahun berlalu. Masa saat menerima SK itu.

Sederhana saja. Dibacakan nama di SK satu per satu oleh pembantu rektor tiga. Satu per satu pula kami tampil. Setelah itu hari berikutnya kami disuruh menghadap kepala dinas P dan K Provinsi.

Kubaca baik-baik SK itu. Di manakah aku di tempatkan? SMP Negeri Okbibab Kabupaten Jayawijaya. Seumur hidupku belum pernah mendengar ada nama itu. Segera kuputar pikiranku, kulambungkan segenap hati dan jiwaku. Bagaimana ini? Di manakah tempat tugasku?

“Saudara-saudara,

Tahukah Saudara-Saudara bahwa pemerintah, bapak presiden yang dalam hal ini diwakili menteri pendidikan telah mempercayakan wewenang pendidikan di pundak Saudara-Saudara?” Sekretaris Kepala Dinas Pendidikan Provinsi memulai nasihatnya.

Dijinak-jinakkannya hati kami agar tidak galau dan tetap bersemangat.

“Kalau pemerintah sudah percaya Saudara, maka Saudara pun harus memegang kepercayaan itu.”

Gayanya seperti kepala negara berpidato. Padahal kami duduk berhadapan di kursi sofa. Sebenarnya akrab juga. Hanya gayanya yang membuat kami segan berulah.

“Semakin pemerintah percaya, semakin jauh Saudara ditempatkan.”

Lagi-lagi nih. Dalam hatiku mulai berkecamuk.

“Itu berarti, kalau ada yang mendapatkan tempat tugas di kota, berarti pemerintah kurang percaya sehingga masih perlu diawasi. Kalau agak dipercaya, akan ditempatkan di pinggir kota. Kalau sangat dipercaya, akan ditempatkan jauh di pedalaman. Saudara yang mewakili pemerintah pusat di sana. Saudara menjadi panglima di sana.”

“Saudara lebih hebat daripada presiden, menteri, atau panglima. Sebabnya apa? Sebabnya, yang saya sebutkan tadi, yang mengaku—ngaku punya wilayah di republik ini, belum tentu pernah dan bahkan tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tempat Saudara-Saudara bertugas. Belum tentu bahkan mereka tidak tahu sebenarnya Saudara bertugas di mana.”

“Mereka kalau mau bepergian selalu dikawal, rombongan, pakai biaya negara puluhan bahkan ratusan juta. Kalau Saudara tidak. Saudara berangkat sendiri ke tempat tujuan tanpa pengawal, tanpa biaya negara. Tanah  ini Saudara sepenuhnya yang punya. Saudara yang menguasai. Saudara yang mendidik anak-anak di tanah ini. Saudara yang menyiapkan generasi di tanah ini. “

“Saudara lebih hebat daripada mereka, pejabat-pejabat negeri ini. Coba pikir, apakah Saudara pernah melihat mereka bekerja. Tidak kan? Yang kerja stafnya. Pejabatnya asal tunjuk. Kalau saudara tidak. Saudara bekerja, memeras otak membanting tulang, mengajar betul—betul mengajar, tidak asal kasih PR anak—anak. Saudara bisa paham semua?”

Pintar juga orang ini merayu. Kataku dalam hati. Tak apalah. Aku pegang baik-baik nasihat itu dan akan kulaksanakan. Demi anak-anakku. Demi masa depan bangsaku. Demi….kian.

SELESAI

 

Leave a comment